Transformasi transisi energi menuju keberlanjutan menjadi salah satu agenda utama Indonesia, terutama dengan komitmen untuk mengurangi emisi karbon demi tercapainya Net Zero Emission pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat. Dalam upaya mewujudkan hal ini, PT PLN (Persero) menginisiasi berbagai program “Transformasi” yang bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT), meningkatkan efisiensi pengadaan listrik, dan mencapai 100% elektrifikasi.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyoroti potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam program transisi energi. Salah satunya adalah menarik investasi sebanyak mungkin untuk pengembangan energi terbarukan. Namun, tantangan dalam mewujudkan hal ini juga tidak ringan.
Menurut Darmawan, hingga tahun 2040, diperkirakan akan ada penambahan kapasitas terpasang listrik sebesar 80 gigawatt (GW) di Indonesia, di mana 75% akan berasal dari energi baru dan terbarukan, sementara sisanya akan berbasis gas. Dibutuhkan juga pengembangan transmisi sepanjang 47.000 kilometer, yang kesemuanya memerlukan investasi sebesar US$152 miliar.
Kolaborasi dianggap sebagai kunci penting dalam mewujudkan program transisi energi di Indonesia. PLN menyadari bahwa tidak mungkin menanggung beban program tersebut sendirian. Oleh karena itu, kerjasama dalam hal investasi dan pemanfaatan teknologi sangatlah penting. Dari seluruh program penambahan kapasitas listrik energi baru dan terbarukan, swasta akan diberi porsi 60%, sementara sisanya akan ditangani oleh PLN.
Jisman P Hutajulu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menekankan bahwa listrik telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kapasitas listrik juga harus ditingkatkan. Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam upaya menaikkan kapasitas terpasang listrik.
Peluang untuk pengembangan industri di bidang energi terbarukan juga cukup besar. Salah satunya adalah industri manufaktur pengembangan fotovoltaik untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Beberapa mineral penting sebagai sumber bahan baku juga tersedia di Indonesia.
Deendarlianto, dari Pusat Studi Energi UGM, menyoroti perlunya pemetaan dan pengembangan manufaktur energi terbarukan di luar Jawa. Studi telah menunjukkan bahwa biaya produksi di Jawa tidak kompetitif. Oleh karena itu, perlu dorongan untuk mengarahkan industrialisasi ke daerah lain. Teknologi lokal juga harus dimanfaatkan untuk percepatan pengembangan energi terbarukan.
Dengan demikian, Indonesia memiliki tantangan besar namun juga peluang yang luas dalam mewujudkan transisi energi menuju keberlanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi menjadi kunci utama dalam meraih kesuksesan dalam program ini.
Demikian informasi seputar perkembangan transisi energi di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Helfordriver.Org.