Transisi Energi Global 2025: Tantangan dan Peluang di Tengah Dinamika Dunia

Transisi energi global 2025 menjadi perhatian utama dalam upaya menahan dampak perubahan iklim. Namun, dinamika kebijakan negara adikuasa dan kebutuhan energi global menjadi tantangan utama dalam mencapainya.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS membawa angin hambatan dalam transisi energi dunia. Trump menyatakan keinginannya keluar dari Perjanjian Paris, yang berupaya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.

Sementara itu, 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan suhu rata-rata bumi melampaui ambang batas pra-industri.

Ketergantungan pada energi fosil juga masih tinggi, terutama untuk mendukung kebutuhan daya dalam perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Bahkan, negara-negara maju mempertimbangkan kembali untuk memensiunkan pembangkit listrik berbahan fosil mereka, demi memenuhi lonjakan permintaan listrik.

Meskipun pertumbuhan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) melambat pada 2024, prospek pada transisi energi global 2025 tetap cerah. PLTS diprediksi menjadi sumber utama pembangkit listrik baru. Di sisi lain, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kembali diminati, terutama di Eropa dan AS.

Saat ini, terdapat 440 reaktor nuklir yang beroperasi di 32 negara, menyumbang 9 persen pasokan listrik dunia.

China memimpin pasar kendaraan listrik (EV), mewakili 65 persen populasi EV dunia. Hal ini berdampak pada melemahnya permintaan minyak global. Di Indonesia, pasar EV menunjukkan pertumbuhan signifikan, seiring dengan tren investasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang terus berkembang.

Meski menghadapi tantangan besar, transisi energi global 2025 tetap menjadi harapan utama untuk masa depan yang lebih hijau. Kolaborasi global menjadi kunci dalam mencapainya.

Demikian informasi seputar transisi energi global 2025. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Helfordriver.Org.