Krisis utang yang melanda berbagai negara berkembang telah mengancam pemotongan anggaran sebesar Rp220 miliar, setara dengan Rp3.447,9 triliun (kurs Rp15.672 per dolar) dalam lima tahun ke depan. Temuan ini berasal dari riset yang dirilis oleh Oxfam International pada Senin (9/10). Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah saat ini terpaksa membayar hampir US$500 juta setiap hari untuk membayar bunga dan utang mereka. Hal ini terjadi akibat kenaikan suku bunga global, inflasi yang meningkat, serta dampak ekonomi pasca-pandemi COVID-19.
Oxfam mengungkapkan bahwa krisis utang telah mendorong banyak negara menuju ambang gagal bayar. Fitch Ratings mencatat bahwa sejak tahun 2020, telah terjadi 14 peristiwa gagal bayar di sembilan negara yang berbeda. Oxfam mendesak Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia untuk segera menciptakan sistem yang lebih adil dalam menangani krisis utang. Oxfam menyarankan agar IMF dan Bank Dunia tidak hanya fokus pada restrukturisasi utang dan pemotongan belanja.
Oxfam menyoroti perlunya tindakan yang lebih adil dalam menangani krisis utang ini, seperti penerapan pajak yang lebih adil kepada orang kaya. Hal ini seharusnya menjadi solusi yang lebih berkelanjutan daripada memberikan lebih banyak pinjaman.
Lebih lanjut, Oxfam dan kelompok bantuan serta kampanye lainnya telah mengajukan permohonan kepada kreditur internasional untuk membatalkan utang negara-negara berkembang yang menghadapi krisis ekonomi. Laporan Oxfam juga mengungkapkan bahwa pembayaran utang negara-negara termiskin melebihi pengeluaran untuk layanan kesehatan sebesar empat kali lipat. Hal ini menyoroti urgensi penanganan krisis utang demi kesejahteraan rakyat yang lebih baik.